Ada Apa Dengan Kesepakatan LCS?
ADA APA DENGAN KESEPAKATAN LCS?
(Sebuah Drama Geopolitik)
Tidak sedikit para diplomat maupun analis yang mengkhawatirkan adanya kesepakatan Presiden Prabowo Subianto dengan Xi Jinping terkait Laut China Selatan (LCS) usai pertemuan di Beijing 9/11/2004. Kita dianggap telah mengalah kepada China dengan bersedia kerjasama di LCS. Padahal menurut UNCLOS, LCS hak kelolanya ada di tangan Indonesia, bukan di kedua negara sebagaimana PBB yang juga menolak klaim China atas LCS.
Beberapa pengamat bahkan memandang skeptis kesepakatan tersebut mempertanyakan dampak yang akan timbul secara geopolitik. Mulai dari overclaim pihak China atas sepuluh garis putus yang tumpang tindih dengan ZEE, yang akan membawa dampak pada daftar negara yang juga berkonflik dengan China terkait ini. Bahkan sampai dengan Presiden yang dianggap melangkahi DPR yang tidak berkonsultasi dulu mengenai hal ini.
Memahami Geopolitik tentu tidak bisa secara parsial karena saling terkait dengan Geoekonomi dan Geostrategi, termasuk dalam kesepakatan ini. Di awal tahun 2020, sebenarnya saya sudah sedikit menyentil terkait konflik di LCS dimana bisa jadi konflik itu by design atau "main mata" antara Indonesia dan China. Bahkan saat itu pernah juga Presiden Joko Widodo melakukan "show of force" di atas Kapal Perang di Perairan Natuna sembari mengatakan: "Natuna Diklaim, Saya Panas, Saya Bawa Kapal Perang!" Namun begitu, saya yakin itu hanya sebuah "Drama Geopolitik"
Kita semua mungkin sudah tahu, bahwa saat ini dunia sedang mengalami revolusi di bidang energi dan keuangan. Dalam kedua hal ini, Indonesia memiliki hubungan baik dengan China. Di bidang energi, ada kerjasama alih teknologi untuk hilirisasi nikel sebagai bahan baku energi lithium. Begitu juga di bidang keuangan, dimana kedua negara sebagai pemilik saham utama atas pendirian AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank). Lembaga Keuangan ini akhirnya mampu menandingi bahkan menggerus dominasi IMF dan World Bank (WB).
PBB, IMF dan WB selama ini menjadi dominasi negara barat khususnya Amerika Serikat untuk mengontrol geopolitik khususnya negara dunia ketiga terutama di Asia dan Afrika. Namun sejak Perjanjian Transparansi Global 2017, telah menjadi momentum (revolusi) pengelolaan keuangan yang lebih adil dan transparan bagi dunia, termasuk Indonesia yang bisa lepas dari cengkeraman hutang IMF. Bahkan pada akhirnya, kita juga menjadi pemilik saham di sana sehingga memiliki hak suara (voting).
Sebuah pertanyaan mendasar, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan atas berlangsungnya perubahan besar ini? Mungkin kita masih ingat bagaimana PBB sampai terancam bangkrut di bulan Oktober 2019. Ini menjadi salah satu indikator bagaimana Revolusi Keuangan Global telah menggerus dominasi Amerika Serikat yang tidak mampu lagi menjadi pendana dominan di PBB. Termasuk bagaimana akhirnya Indonesia mampu menjadi pemilik saham di IMF, WB dan AIIB bersama China.
Nah, upaya menganggu eksistensi AIIB sebagai pengganti IMF dan WB salah satunya dengan menciptakan potensi konflik. Dan yang paling memungkinkan adalah Kawasan LCS yang melibatkan teritorial beberapa negara. Namun rupanya skenario ini sudah terbaca khususnya oleh Indonesia dan China. Itulah kenapa saya mengatakan "gelutnya" kita hanyalah "drama". Namun begitu, sebagai upaya antisipasi, akhirnya kita membuka Kantor Luar Negeri AIIB Abu Dhabi pada 9 September 2023. Dan tentunya, sebagai pemilik saham utama, kita menempatkan Luky Eko Wuryanto sebagai Vice President sekaligus Kepala Administrasi di sana.
"Oalah, pantesan Jokowi kok bolak-balik sambang sinambang dengan pihak Abu Dhabi. Sudah jadi antek China, sekarang malah jadi antek Arab pula. Dan kini Prabowo juga jadi antek penerusnya!" Kata para penyinyir dengan segala pemahaman dangkalnya. Kasihan mereka itu sebenarnya.
*FAZ*
#SILIT
Komentar
Posting Komentar